Jumat, 19 Juli 2013

Hakim Batalkan Peralihan Status Pekerja SCTV

Perkara perselisihan PHK yang diajukan manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) kandas di PHI Jakarta. Pasalnya, majelis menolak seluruh gugatan PHK yang diajukan manajemen selaku penggugat terhadap 40 pekerjanya yangmenolak di-outsourcing. Sekali pun dalam persidangan, penggugat menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon, majelis melihat Agus Suhanda dkk menolaknya dan menginginkan untuk tetap bekerja.

Anggota majelis hakim Saut C Manalusaat membacakan pertimbangan putusan mengatakan, penggugat beralasan pengalihan ke perusahan outsourcing dilakukan agar perusahaan fokus pada bisnis inti, yaitu bidang pertelevisian. Sementara, penggugat menilai Agus Suhanda dkk mengerjakan pekerjaan penunjang seperti sopir dan petugas keamanan. Oleh karenanya, sebagaimana berkas yang diajukan di persidangan, Saut mengatakan, penggugat mengalihkan Agus Suhanda dkk ke sebuah perusahaan outsourcing bernama PT ISS Indonesia.

Ketika melaksanakan pengalihan itu penggugat merasa sudah sesuai dengan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto Permenakertrans Outsourcing. Sebelum menjalankan pengalihan itu, Saut menyebut, penggugat mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada para pekerja. Penggugat juga memberi beberapa tawaran kepada pekerja yang hendak dialihkan. Namun, mengingat Agus Suhanda dkk tetap menolak dialihkan, penggugat melakukan PHK.

Saut menjelaskan, tergugat mendalilkan Agus Suhanda dkk merupakan pekerja tetap karena masa kerja mereka berkisar 9-20 tahun. Oleh karenanya, tergugat beralasan pengalihan itu tidak punya dasar hukum dan bertentangan dengan pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selain itu para tergugat berpendirian mengacu pasal 170 UU Ketenagakerjaan, penggugat wajib mempekerjakan kembali Agus Suhanda dkk.

Atas perkara itu, Saut melanjutkan, majelis hakim berpendirian bahwa pokok perkara bermuara pada pertanyaan, yaitu apakah penggugat memiliki alasan yang cukup dan valid dalam melakukan PHK sebagaimana dimaksud pasal 152 UU Ketenagakerjaan? Mengacu ketentuan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto pasal 17 Permenakertrans Outsourcing, pengusaha atau penggugat diberikan hak oleh UU untuk mengalihkan sebagaian pekerjaannya, yakni menyerahkan pekerjaan penunjang kepada perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerjaan.

Tak ketinggalan dalam pendiriannya, majelis mempertanyakan apabila pengalihan itu dilakukan kepada pekerjaan yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan apakah serta merta mengakibatkan PHK kepada pekerjanya? Saut juga menjelaskan dalam putusan, majelis hakim mengakui PHK yang dilakukan penggugat hingga ke PHI telah memenuhi ketentuan yang diatur UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI, namun, lagi-lagi majelis menekankan apakah pengalihan itu secara serta merta mengakibatkan PHK.

“Sekalipun dalam persidangan para tergugat tidak mengajukan tuntutan pembatalan pengalihan pekerjaan (pembatalan outsourcing) yang dilakukan penggugat, majelis berpendirian pengalihan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak serta merta mengakibatkan PHK terhadap pekerja,” kata Saut membacakan putusan di ruang sidang I PHI Jakarta, Rabu (18/7).

Masih membacakan putusan, majelis berpendirian setiap PHK harus memiliki alasan yang valid sebagaimana pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Tapi selama persidangan, Saut mengatakan penggugat tidak menjelaskan hal itu lebih dalam sehingga pengalihan itu seolah langsung disertai dengan PHK.

Dari fakta yang diperoleh dalam persidangan, Saut mengatakan, pengalihan itu dilakukan penggugat kepada PT ISS setelah didahului presentasi dari PT ISS kepada penggugat. Kemudian, meskipun penggugat telah mengalihkan pekerjaan itu kepada PT ISS, namun pekerjaan tersebut masih ada dan masih berlangsung di tempat yang sama, serta masih dikerjakan oleh para tergugat yang telah dialihkan status kerjanya kepada PT ISS. Begitu pula dengan peralatan kerja yang digunakan, majelis melihat masih menggunakan peralatan yang dimiliki oleh penggugat.

Peralatan itu, menurut majelis, sama seperti peralatan yang digunakan para pekerja sebelum dialihkan ke PT ISS. Berdasarkan fakta-fakta itu majelis menilai, penggugat tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada para pekerjanya, begitu pula dengan dampak ketika mereka dialihkan. “Setelah pengalihan dilakukan ternyata pekerjaan tersebut masih terintegrasi dalam organisasi perusahaan penggugat. Dan peralatan kerjanya terutama untuk supir adalah peralatan utama yang dimiliki penggugat, bukan PT ISS,” urainya.

Atas dasar itu, terkait pengalihan para pekerja ke PT ISS, majelis berpedoman pada semangat pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus berupaya jangan terjadi PHK. Sekalipun PHK harus diputuskan, apalagi sifatnya massal, majelis mengacu Surat Edaran Menakertrans No.907 tahun 2004 tentang Pencegahan PHK Massal. PHK itu, menurut majelis, juga harus mempertimbangkan masa depan pekerja.

Meskipun penggugat menawarkan kepada para pekerja yang dialihkan untuk bekerja di PT ISS, tapi mengacu perjanjian penyediaan jasa pekerja antara PT ISS dan PT SCTV, majelis menilai, pekerjaan itu sifatnya sementara waktu. Selain adanya kekhawatiran jaminan keberlangsungan kerja, majelis melihat ada kecemasan jaminan sosial yang diperoleh para pekerja akan ikut berkurang pula. Oleh karena itu sebelum melakukan PHK, majelis mengingatkan, penggugat harus memperhatikan berbagai hal tersebut.

Majelis juga menegaskan, sebelum memutus hubungan pekerja, harus diperhatikan berat atau ringan dampaknya bagi pekerja dan pengusaha. Pasalnya, dalam banyak kasus tindakan pengusaha yang tetap mempekerjakan para pekerjanya, berdampak kecil bagi lancarnya operasional perusahaan. Sedangkan PHK terhadap para pekerja, tak jarang mengakibatkan ketidakpastian pendapatan dan berujung pada kemiskinan bagi pekerja beserta keluarganya.

Tanpa mencegah arah bisnis penggugat, majelis berpendapat, langkah-langkah untuk mencegah PHK yang dilakukan penggugat tidak berlandaskan alasan hukum yang memadai. “Karena alasan PHK terhadap para pekerja belum memiliki alasan yang valid, maka majelis hakim berpendirian menolak tuntutan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan PHK terhadap tergugat tidak pernah putus dan tetap berlangsung,” tutur Saut.

“Menghukum tergugat rekonvensi untuk segera mempekerjakan penggugat rekonvensi pada pekerjaan dan jabatan semula serta memulihkan hak-hak yang selama ini diperoleh para penggugat rekonvensi,” tutur hakim ketua Amin Ismanto membacakan amar putusan.


Dissenting Opinion
Putusan perkara ini diwarnai dengan perbedaan pendapat alias dissenting opinion. Anggota majelis hakim Sinufa Zebua berpendapat bahwa seharusnya pengadilan memutuskan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dengan alasan bahwa hubungan keduanya sudah tak harmonis lagi.

Zebua berani berpendapat seperti itu karena berdasarkan fakta persidangan terlihat rasa saling curiga antara penggugat dan tergugat. Ia khawatir hubungan kerja tak akan efektif lagi ketika para tergugat dipekerjakan kembali.

“Hubungan antara penggugat dengan para tergugat harus diputus berdasarkan putusan PHI dengan memberikan uang pesangon/kompensasi sesuai UU yang berlaku,” tegas Zinufa membacakan dissenting opinion.

Usai mengikuti sidang itu, salah satu kuasa hukum tergugat dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan pekerja cukup puas dengan putusan itu. Pasalnya, sebagian tuntutan, yaitu mempekerjakan kembali, dikabulkan majelis. Untuk langkah selanjutnya, Fauzi mengaku akan melihat dalam waktu 14 hari ke depan apakah pihak manajemen SCTV akan melakukan kasasi atau tidak. Jika dalam jangka waktu itu kasasi tidak kunjung diajukan maka pekerja mengajukan eksekusi.

“Tapi yang pasti kami senang atas putusan majelis hakim. Menurut kami putusan itu benar, bahwa gugatan PHK yang diajukan penggugat tidak punya dasar,” tukas Fauzi.

Soal adanya perbedaan pendapat dari salah satu anggota majelis, Fauzi berpendapat, hal itu tidak menjadi amar putusan. Sehingga tidak merisaukan bagi para pekerja karena putusannya, mereka dipekerjakan kembali. Bagi Fauzi, perbedaan pendapat itu sebagai salah satu kebebasan yang dimiliki hakim dalam bermusyawarah untuk memutus sebuah perkara. Tak ketinggalan, Fauzi berharap putusan itu berdampak positif terhadap pekerja lain yang statusnya outsourcing. “Apalagi pasca diterbitkan Permenakertrans Outsourcing, tidak sedikit pekerja outsourcing yang di-PHK,” urainya.

Sedangkan salah satu kuasa hukum penggugat, Elizabeth Ritonga, menolak berkomentar ketika ditanya pendapatnya terkait putusan itu.[HUKUM ONLINE]

Jumat, 12 April 2013

Menolak Di-Outsourcing, Puluhan Pekerja SCTV Digugat

Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 40 pekerjanya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Gara-garanya karena para pekerja tersebut menolak dialihkan status dan hubungan kerjanya ke perusahaan outsourcing.

Persidangan yang saat ini masuk agenda pengajuan bukti itu diketuai hakimAmin Ismanto dengan beranggotakan Zinufa Zebua dan Saut Manalu. Sayangnya, ketika diminta keterangan perihal gugatan itu, kuasa hukum manajemen SCTV Yosef Mado, menolak berkomentar. "Langsung saja ke pimpinan," kata dia kepada hukumonline usai bersidang di PHI Jakarta, Kamis (11/4).

Namun, berdasarkanberkas gugatan, pihak manajemen beralasan pengalihan itu karena perusahaan ingin fokus pada kegiatan inti yaitu bidang pertelevisian. Mengingat jenis pekerjaan Tri Handoko dan 39 rekannya dikategorikan manajemen sebagai pekerjaan penunjang seperti supir dan keamanan, maka pengalihan itu dilakukan. Dalam melaksanakan pengalihan itu, pihak manajemen mengacu pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan yang intinya sebuah perusahaan boleh mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal outsourcing.

Tak ketinggalan pihak manajemen pun menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon kepada Tri Handoko dkk. Sayangnya, para pekerja menolak. Untuk menyelesaikan perselisihan itu, kedua pihak sudah menggelar perundingan bipartit dan tripartit, namun tak berbuah hasil yang memuaskan. Alhasil, pihak manajemen melayangkan gugatan PHK kepada Tri Handoko dkk ke PHI Jakarta.

Dalam gugatan itu pihak manajemen memohon sejumlah tuntutan. Di antaranya, meminta majelis memutus hubungan kerja antara SCTV dan Tri Handoko dkk sejak 1 Juni 2012. Serta memerintahkan manajemen untuk memberikan kompensasi kepada Tri Handoko dkk berupa dua kali pesangon yang totalnya mencapai Rp1,6 miliar.

Menanggapi hal itu salah satu kuasa hukum pihak pekerja dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan, para pekerja menolak dialihkan ke perusahaan outsourcing. Menurutnya, Tri Handoko dkk adalah pekerja berstatus tetap dan pihak manajemen dinilai tak punya landasan hukum untuk mengalihkan para pekerja ke perusahaan outsourcing sekalipun memberikan kompensasi berupa dua kali pesangon.

Fauzi berpendapat,sebelum mengajukan PHK, harus ada kejelasan apa yang menjadi dasar diterbitkannya PHK. Misalnya, mengacu pasal 158 UU Ketenagakerjaan, ada kesalahan berat yang dilakukan pekerja seperti melakukan penipuan dan mengedarkan narkotika. Selain itu, ada mekanisme PHK yang harus dilewati. Sayangnya, pihak manajemen dinilaitak punya berbagai dasar tersebut.

Walau dari 40 pekerja terdapat sebagian yang menerima surat skorsing menuju PHK, menurut Fauzi harus ada alasan yang kuat kenapa skorsing dijatuhkan. Lagi-lagi Fauzi tak melihat pihak manajemen punya alasan yang jelas. Dia melihat pihak manajemen melakukan PHK dengan dalih para pekerja menolak perintah atasan karena tak mau dialihkan ke perusahaan outsourcing. Bagi Fauzi penolakan para pekerja itu belum dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan PHK.

Atas dasar itu Fauzi menegaskan para pekerja menolak untuk dialihkan menjadi pekerja outsourcing walau nantinya tetap bekerja di PT SCTV. Serta menginginkan agar bekerja di posisi semula dengan status pekerja tetap sebagaimana surat pengangkatan yang diterima para pekerja di masa awal bekerja. “Surat pengangkatan (pekerja berstatus tetap,-red) itu ada dan para pekerja mau bekerja kembali seperti semula,” katanya.

Fauzi menjelaskan penolakan para pekerja itu bukan tanpa alasan. Pasalnya dalam praktik, tingkat kesejahteraan pekerja outsourcing jauh lebih rendah ketimbang pekerja berstatus tetap. Menurutnya hal itu dialami sebagian pekerja PT SCTV yang menerima untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing. Misalnya, terjadi penurunan hak normatif seperti upah, fasilitas dan kesehatan. Bahkan secara umum Fauzi melihat pekerja outsourcing tak mendapat pesangon sebagaimana pekerja tetap ketika di-PHK.

Terpisah, menurut dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Trisakti Yogo Pamungkas, penting untuk dilihat bagaimana status pekerja. Jika si pekerja berstatus tetap maka perjanjian kerja yang ada harus diputus terlebih dulu sebelum dialihkan ke perusahaan lain. Namun, Yogo menegaskan dalam melakukan PHK, harus ada dasar yang jelas kenapa PHK itu dijatuhkan. Misalnya, si pekerja melakukan kesalahan berat. Jika alasan yang jelas itu tidak ada, namun pihak manajemen tetap melakukan PHK, Yogo menilai PHK itu tak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. “PHK itu tidak boleh dipaksakan,” kata dia kepada hukumonline lewat telepon, Kamis (11/4).

Ketika si pekerja menolak untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing, Yogo berpendapat, PHK tak boleh dilakukan. Untuk menyelesaikan persoalan itu harus dilakukan dengan perundingan bipartit dan tripartit. Jika masih ada yang tidak puas dengan hasil itu, maka dapat mengajukan perselisihan ke PHI.[HUKUM ONLINE]

Kamis, 11 April 2013

Cerita Miris dari SCTV Tower

“Kami gak nyangka, kok mereka bisa tega sama kami? Padahal kami semua sudah berteman belasan tahun tapi tiba-tiba seakan lupa. Ketika saya belum menandatangani surat pengunduran diri itu, saya menerima telepon sampai sepuluh kali sehari. Isinya cuma teror agar buru-buru tanda tangan, bahkan pas di ruang HRD, mereka membentak-bentak dan menggebrak-gebrak meja. Horor!”

Dari ruangan lain juga terdengar cerita miris, “Saya sedang dirawat di rumah sakit. Masih terbaring dan jarum infus masih nempel di tangan, terus yang namanya atasan, tega-teganya memaksa meminta saya menandatangani surat pengunduran diri. Tega. Padahal, mereka bisa meminta saya ketika sehat atau sepulangnya dari rumah sakit. Ini memang benar-benar gila!”

“Yang sekarang diangkat jadi pekerja tetap ISS juga gak jelas. Mereka dapat gaji di bawah UMP atau turun dibandingkan gaji lama. Malah, seorang teman yang sudah memasuki usia pensiun, tiba-tiba langsung dikabari untuk mengambil surat PHK. Peristiwanya hari Minggu dan benar-benar mendadak. Orang itu cuma pasrah dan mengelus dada. Pindah dan di-outsourcing jadi pekerja PT ISS itu gak menjamin!”

Kekecewaaan, kemarahan, kegundahan, sakit hati, dendam, dan sumpah serapah, masih berhamburan dari banyak mulut para pekerja tetap SCTV yang dipaksa menerima keputusan PHK dan dialihdayakan menjadi pekerja PT ISS. Sejatinya peristiwa pengalihdayaan itu terjadi pertengahan tahun lalu tapi jejak-jejak kebiadabannya masih tersimpan dan akan terus diingat oleh mereka.

Mereka adalah bagian dari 119 pekerja tetap yang mendapatkan perlakukan diskriminitif, intimidatif, hingga di-PHK, lantas dialihdayakan sebagai pekerja PT ISS. Persisnya, sebagai pekerja outsourcing! Adakah yang keliru dengan kebijakan itu?

“Kebijakan itu tidak salah. Tapi cara-cara yang diterapkan HRD SCTV itu yang biadab. Mereka over acting dan sama sekali tidak berperikemanusiaan. Lagaknya bicara baik-baik tapi isinya tak lebih dari intimidasi-intimidasi. Semua teman-teman yang mendapatkan perlakuan ini merasa sakit hati. Sangat sakit hati. Mereka tidak punya Tuhan!”

Sementara 40 pekerja tetap lainnya yang menolak kebijakan outsourcing itu diskorsing secara sepihak dan hingga sekarang terus bergerilya mencari keadilan. Pekan-pekan terakhir, kasus ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial.

Seperti juga ke-119 pekerja tetap SCTV yang telah di-PHK, mereka juga menyaksikan dengan seksama peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di SCTV Tower, kantor megah yang menjadi pusat kegiatan sebuah stasiun televisi swasta nasional. Termasuk peristiwa merger SCTV-Indosiar, pergantian pucuk pimpinan dengan para perancang kebijakan outsourcing di top management, dan peristiwa-peristiwa susulan yang bakal terjadi di bulan-bulan mendatang (baca: PHK massal atas nama efisiensi).[]

Sabtu, 09 Maret 2013

SCTV Bernafsu Tuntaskan Kasus Buruh

Setelah selama delapan bulan menjalin kekisruhan dengan para pekerja tetapnya, kini manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) benar-benar berniat ingin menuntaskan kasus itu selekas-lekasnya. Ini dibuktikan dengan inisiatif kuasa hukum SCTV yang mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terkait kasus penolakan kebijakan outsourcing oleh 40 pekerja tetap SCTV, dan pencatatan perselisihan hubungan industrial ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta terkait kasus yang melibatkan seorang jurnalis Liputan 6.

Demikian dijelaskan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) Agus Suhanda seusai rapat konsolidasi bersama LBH Aspek Indonesia di Kantor DPP Aspek Indonesia di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (9/3). "SCTV sangat bernafsu menuntaskan kasus-kasus perselisihan perburuhannya selekas-lekasnya dan ini sangat menarik," katanya.

Sejak awal, jelas Agus, kami beritikad baik dengan mempertanyakan kebijakan outsourcing yang mesti dilakukan secara diskriminatif dan intimidatif terhadap teman-teman secara baik-baik. "Namun mereka menantang kami untuk menuntaskannya di pengadilan. Dan terbukti, setelah 4o pekerja tetap diskorsing secara sepihak karena menolak kebijakan itu, justru mereka yang mencatatkan perselisihan itu ke Sudin Nakertrans Jakarta Pusat dan mendaftarkan gugatan ke PHI," paparnya.

Pada bagian ini, tegas Agus, kami telah membuktikan bahwa kami tidak pernah beritikad untuk memulai perselisihan atau konflik tapi justru pihak SCTV yang berkeinginan mendapatkan pembenaran atas kebijakan outsourcing itu. "Situasi serupa juga terjadi pada kasus jurnalis Liputan 6 yang di-PHK secara sepihak dan dikirimi uang pisah. Padahal anggota kami itu sudah menolak, dan pihak SCTV bersikeras menghentikan pembayaran upah dan mengirimkan uang pisah. Kini, justru mereka yang mencatatkan kasus itu ke Disnakertrans DKI Jakarta," katanya terheran-heran.

Tentang hasil konsolidasi dengan LBH Aspek Indonesia, Agus menambahkan, SP SCTV bersama DPP Aspek Indonesia bertekad akan terus meladeni penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan pihak SCTV hingga tingkat mana pun. "Kamis (14/3) nanti, kami akan menghadiri sidang pertama di PHI, sekaligus menghadiri perundingan tripatrit. Meski demikian, kami juga akan terus melakukan berbagai aksi, misalnya aksi BOIKOT SCTV (OUTSOURCING BROADCASTER) di Bundaran Hotel Indonesia saat Car Free Day dalam waktu dekat," jelasnya.

Agus mengatakan bahwa aksi itu dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran kepada SCTV agar mempertimbangkan kembali pelaksanaan kebijakan outsourcing di media tersebut dan mengingatkan persoalan kemanusiaan sebagai dampak kebijakan itu. "Biarlah kami disebut duri dalam daging. Yang penting, kami telah mengingatkan kepada pemilik dan pengelola SCTV soal kekisruhan media, serta mengingatkan khalayak agar kritis terhadap media yang menerapkan kebijakan itu," tegasnya.[]

Jumat, 01 Maret 2013

Boikot SCTV

Pengurus Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) akan segera mendeklarasikan Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) sebagai protes atas Kebijakan Outsourcing di stasiun televisi nasional tersebut. "Gerakan ini akan dideklarasikan di Bundaran Hotel Indonesia bersamaan dengan momen Car Free Day pada Ahad pekan depan, yang disertai penghimpunan tanda tangan dari masyarakat di kawasan itu," jelas Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda di Kantor DPP Aspek Indonesia di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3).

Dikatakan Agus, gerakan tersebut bukan merupakan reaksi atas pendaftaran gugatan pihak SCTV terhadap 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak Kebijakan Outsourcing [baca: Pemilik SCTV Bebal]. "Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) telah kami rancang sejak beberapa minggu yang lalu sebagai upaya menghentikan praktik-praktik busuk ala kapitalis itu dan juga mengarah pada literasi media," tambahnya.

Di lingkungan SCTV, papar Agus, Kebijakan Outsourcing bukan hanya diterapkan kepada kalangan pengemudi, petugas keamanan, dan pekerja kalangan bawah, tapi juga petugas master control, kamerawan, dan penerjemah. "Kebjakan Outsourcing diterapkan secara terbuka pada pertengahan tahun lalu dan dampaknya bukan main, 119 pekerja tetap di-PHK dan diberdayakan kembali sebagai pekerja outsourcing. Sebanyak 40 pekerja tetap yang menolak kebijakan itu diskorsing secara sepihak dan justru pihak SCTV yang mencatatkan kasus ini ke Sudin dan mendaftarkan gugatan ke PHI," katanya.

Langkah mencatatkan kasus ke Sudin dan mendaftarkan gugatan ke PHI, tegas Agus, merupakan itikad buruk pihak SCTV yang ingin membenarkan penerapan Kebijakan Outsourcing di SCTV. "Dan bila pengadilan berpihak kepada mereka, maka ini merupakan ancaman terhadap ratusan pekerja tetap SCTV lainnya dan juga akan berdampak terhadap isi media," ujarnya [baca: Musim PHK Segera Tiba di SCTV-Indosiar].

Agus juga memaparkan bahaya konsep komodifikasi media yang diterapkan secara jelas di stasiun SCTV mencakup isi media, khalayak, dan isi media. "Dalam konsep komodifikasi media, isi media tak lebih dari sampah, khalayak sekadar angka-angka rating, dan pekerja tak lebih dari buruh murah. Lantas apa yang diharapkan dari stasiun televisi yang menerapkan Kebijakan Outsourcing?" tanyanya.

Karena itu, kata Agus, kami bertekad akan memvangun membangun kesadaran masyarakat agar tidak memirsa stasiun SCTV yang berpotensi menayangkan sampah-sampah komunikasi di frekuensi milik publik tersebut. "Pada masa mendatang, bukan tidak mungkin, Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) ini juga akan mengarah kepada stasiun televisi lain. Persisnya, gerakan boikot media televisi yang menerapkan kebijakan outsourcing," tegasnya.[]

Sabtu, 23 Februari 2013

Musim PHK Segera Tiba di SCTV-Indosiar

Musim pemutusan hubungan kerja (PHK) segera tiba di lingkungan Senayan City (tempat SCTV dan Indosiar berkantor, red) menyusul penggabungan alias merger antara PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM). Demikian dikatakan Ketua Umum Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) Agus Suhanda di sela Kongres II Federasi Serikat Pekerja Media Independen di Jakarta, Sabtu (23/2).

"Meski dalam berbagai berita disebutkan bahwa manajemen SCMA dan IDKM  berkomitmen tidak melakukan PHK, kenyataannya dalam keterangan tertulis di BEJ disebutkan, perseroan akan memperhatikan ketentuan UU Tenaga Kerja yang berlaku, termasuk apabila terdapat tenaga kerja yang tidak bersedia untuk melanjutkan hubungan ketenagakerjaanya maka sesuai Pasal 163 ayat 1 dari UU Tenaga Kerja, Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja di mana pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan UU Tenaga Kerja," jelas Agus [baca: Dimerger, SCTV-Indosiar Komit Tak PHK Karyawan].

Artinya, tambah Agus, mereka telah menyiapkan formulasi khusus untuk mem-PHK para pekerjanya, bahkan dengan pesangon yang terbilang murah. "Seperti biasa, SCTV dan Indosiar akan menggunakan jurus PHK dengan biaya semurah-murahnya," tegasnya.

Karena itu, kata Agus, kami juga bersiap-siap melakukan pendampingan dan advokasi terhadap anggota SP SCTV yang terancam PHK. "Kami berupaya agar anggota kami mendapatkan hak-haknya, tanpa mendapatkan intimidasi dan perlakukan sewenang-wenang pihak HRD," ujarnya.

Di sisi lain, proses merger itu dan alasan efisiensi tak membuat pemilik SCTV Raden Eddy Kusnadi Sariaatmadja tergeser dari posisi orang kaya di Indonesia versi majalah Forbes. Seperti dikutip dari Forbes, nilai kekayaan Eddy per November 2012 mencapai US$ 730 juta atau sekitar Rp 6,9 triliun. 

Kekayaan Eddy meningkat dua kali lipat setelah sukses mengakuisisi Indosiar dari Grup Salim di 2011 dengan nilai pembelian Indosiar oleh EMTK mencapai Rp 2,03 triliun. Pria berumur 59 tahun itu menggeser Aburizal Bakrie selaku pemilik group media Viva Group dari jajaran 40 orang terkaya di Indonesia versi Forbes [baca: SCTV-Indosiar Merger, Pemilik Elang Mahkota Masuk 40 Orang Terkaya Indonesia].

Selasa, 19 Februari 2013

Pemilik SCTV Bebal

Pemilik PT Surya Citra Televisi (SCTV) bebal dan benar-benar telah kehilangan sisi kemanusiaannya karena bersikeras memberlakukan kebijakan outsourcing dan menerapkan cara-cara intimidatif terhadap pekerja tetap yang menolak kebijakan itu. Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) Agus Suhanda di tengah aksi unjuk rasa menolak RUU Ormas dan RUU Kamnas di di depan Gedung MPR/DPR di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (19/1) [baca: Tolak RUU Ormas dan RUU Kamnas].

"Kami tidak tahu, apa yang terjadi dengan Tuan Eddy Kusnadi Sariaatmadja dan Tuan Fofo Sariaatmadja? Selama ini kami dan hampir seluruh karyawan di lingkungan SCTV dan EMTK (induk perusahaan SCTV, red) mengenal mereka sebagai sosok yang religius dan humanis, tapi kenyataannya, mereka tetap bertahan dengan kebijakan ala perbudakan modern itu," kata Agus.

Agus merinci, pada pertengahan 2012 sebanyak 159 pekerja tetap mendapat perlakukan diskriminatif dan intimidatif agar bersedia di-PHK dan dipekerjakan sebagai pekerja outsourcing di bawah bendera PT ISS. "Sebanyak 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak dan diganjar sanksi skorsing secara sepihak," tambahnya.

Mantan staf Divisi General Services itu juga membuktikan sikap bebal pemilik SCTV yang justru mencatatkan kasus tersebut ke Sudin Nakertrans Jakarta Pusat dan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. "Sekali lagi, ini membuktikan bahwa mereka merasa benar dengan kebijakan outsourcing dan berharap pengadilan pun membenarkannya. Bagi kami, ini merupakan bencana bagi kredibilitas SCTV dan bencana juga bagi sisi kemanusiaaan para pemilik modal SCTV," tegas Agus.

Meski demikian, kata Agus, kami siap menghadapi gugatan pihak SCTV dan bertekad akan terus memperjuangkan keadilan dalam kasus kebijakan outsourcing di SCTV tersebut. "Di belakang kami, di lingkungan SCTV sendiri, masih banyak yang bakal jadi korban. Di luar sana, banyak calon-calon korban yang bermimpi bekerja di menara gading itu. Hanya satu kalimat, lawan kebijakan outsourcing dan kami merindukan sosok Tuan Eddy Kusnadi Sariaatmadja dan Tuan Fofo Sariaatmadja yang religius dan peka terhadap persoalan kemanusiaan," harapnya.[]

Tolak RUU Ormas dan RUU Kamnas

Pengurus Serikat Pekerja PT Surya Citra Televisi (SP SCTV) menyerukan penolakan atas Rancangan Undang-undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas) dan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) melalui aksi unjuk rasa yang digelar bersama ratusan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAS) dan Koalisi Kebebasan Berorganisasi (KKB) di depan Gedung MPR/DPR di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (19/1). "Pemerintah dan DPR harus mencabut RUU tersebut!" tegas Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda.

Menurut Agus, RUU Ormas melanggar prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. "Jika pemerintah dan DPR bersikeras melanjutkan pembahasan dan mengesahkan RUU Ormas, maka pemerintah dan DPR telah melakukan pemborosan anggaran untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang jelas-jelas akan menghambat kemerdekaan berserikat dan berorganisasi masyarakat, mengacaukan sistem hukum, mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum, mengabaikan sejarah ormas-ormas yang telah berkontribusi pada pembentukan dan kemerdekaan Indonesia, dan melakukan tindakan yang menurunkan citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara demokratis," jelasnya.

Sementara itu, dalam aksinya KKB dan KAPAS mendesak pemerintah dan DPR agar mencabut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat kepada kerangka hukum yang benar dan relevan, yaitu berdasarkan keanggotaan (membership-based organization) yang akan diatur dalam UU Perkumpulan dan tidak berdasarkan keanggotaan (non membership-based organization) melalui UU Yayasan. Kedua, menghentikan pembahasan dan pengesahan RUU Ormas, serta mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. Rancangan Undang-Undang Perkumpulan secara hukum lebih punya dasar, namun telah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah.

”Kami bertekad tetap menolak Inpres No. 2 Tahun 2013 itu serta RUU Kamnas dan RUU Ormas karena ketiganya jelas-jelas membahayakan perjuangan buruh dalam menuntut hak-haknya,” kata Presiden KSPI yang juga Presidium Majelis Pekerja Buruh (MPBI) Said Ikbal.

Setelah melakukan orasi di depan gedung DPR RI, beberapa perwakilan pendemo diterima oleh Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso dan Ketua Pansus RUU Kamnas Malik Haramain.[]

Kamis, 14 Februari 2013

Buruh Bicara


Sekitar 500 pekerja PT Graha Sarana Duta (GSD) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) menuntut di pekerjakan kembali sebagai pekerja tetap di PT Telkom. Mereka belasan tahun ditempatkan dan menjaga aset-aset penting PT Telkom sebagai pekerja kontrak dan per 1 Januari 2013 lalu tidak dipekerjakan lagi.

“Ada indikasi pelemahan serikat pekerja (union busting) karena pekerja yang diputus hubungan kerjanya adalah anggota serikat pekerja,” jelas Sekretaris Jendral DPP ASPEK Indonesia Sabda Pranawa Djati.

Aksi yang didominasi dengan seragam dan atribut lengkap satpam lengkap itu diakhiri dengan push up serentak dengan menutup jalan. Akibatnya, selama beberapa menit jalan Gatot Subroto macet total [baca: PT Telkom Didemo Security].

Sementara itu pertengahan 2012, manajemen SCTV memberlakukan kebijakan outsourcing secara terbuka, dengan melakukan intimidasi dan pemaksaan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 159 pekerja tetap dari Divisi General Services. Walhasil, sekitar 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan diberikan “bonus” berupa dipekerjakan kembali dengan status sebagai pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak hingga menerima keputusan skorsing secara sepihak.

Selama tujuh bulan terakhir, ke-40 pekerja tetap itu, didukung DPP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK INDONESIA) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), memperjuangankan haknya melalui upaya hukum, serta aksi-aksi massa dan publisitas melalui media [lihat video: KERANDA SCTV].

Film dokumenter BURUH BICARA mengungkap aksi dua serikat pekerja di bawah afiliasi DPP Aspek Indonesia, serta kiprah para pendekar buruh di dalamnya. Dalam credit title juga diungkapkan bahwa film tersebut memang didedikasikan untuk para pendekar buruh, buruh yang berjuang, dan seluruh elemen masyarakat yang peduli dan mendukung perjuangan para buruh.

Selengkapnya, klik BURUH BICARA.[]

Rabu, 06 Februari 2013

SCTV Tidak Pernah Beritikad Baik

Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) tidak pernah memiliki itikad baik dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dengan para pekerja tetapnya. Demikian ditegaskan Heni Aria, istri pekerja tetap SCTV yang tengah diskorsing, dalam aksi solidaritas terhadap pekerja kontrak PT Telkom di halaman Kantor PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (6/2).

"Korban atas tindakan semena-mena SCTV bukan hanya Rangga, putra Pak Darmayanto, yang wafat setelah akses pengobatannya diblokir pihak SCTV. Anak saya juga nyaris menjadi korban dan sempat membuat kami nyaris putus asa," jelas Heni [lihat video: Istri Karyawan SCTV Memarahi HRD]. "Dan ini dilakukan secara sistematis. Intimdasi yang terencana, dengan harapan, teman-teman goyah dan bersedia di-PHK. Ini kan biadab!"

Heni menuturkan, intimidasi dilakukan sejak pemberian surat panggilan yang biasa dilakukan secara mendadak dan membuat siapa pun terkejut. "Setelah itu, pihak HRD akan melakukan tekanan-tekanan hingga ancaman untuk menyelesaikan masalah lewat pengadilan. Sebagian besar teman-teman kami takut dan malas berurusan dengan pengadilan, akhirnya mereka mengalah," katanya.

Akibat kebijakan outsourcing di perusahaan milik keluarga Sariaatmadja itu, kata Heni, 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan diberi bonus dipekerjakan kembali sebagai pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak dan diskorsing secara sepihak. "Lucunya, pekerja outsourcing itu sekarang diangkat sebagai pekerja PT ISS dengan upah 1,5 juta Rupiah, padahal kami menerima upah 2,2 juta Rupiah," tambahnya.

Selain Heni yang mewakili Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV), aksi para pekerja kontrak PT Telkom itu juga didukung oleh sejumlah serikat pekerja di bawagh afiliasi Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia. "Sekitar 120 anggota Aspek Indonesia asal Bekasi juga meramaikan aksi kali ini," jelas Sekjen DPP Aspek Indonesia Sabda Pranawa Djati.

Aksi pekerja kontrak PT Telkom yang tergabung dalam Serikat Pekerja Sarana Duta Graha (SEJAGAD) dilakukan sejak Selasa (4/2) kemarin. Selain berunjuk rasa di halaman kantor PT Telkom, aksi serupa juga dilakukan di halaman PT Sarana Duta Graha di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, dan menginap di kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat.[]



Rabu, 30 Januari 2013

Manajemen SCTV Panik

Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) bukan hanya sembrono dan kekanak-kanakan tapi juga panik dalam menghadapi kasus perselisihan hubungan industrial dengan Bro Syaiful, jurnalis Liputan 6 yang menerima keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dari pihak manajemen SCTV. "Sejumlah bukti menunjukkan indikasi pada kesimpulan itu," tegas Ahmad Fauzi dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (LBH Aspek Indonesia) di Jakarta, Rabu (30/1).

Ketika pihak manajemen SCTV tidak berhasil mengirimkan surat panggilan kepada Bro Syaiful, Fauzi merinci, pihak manajemen SCTV langsung melayangkan surat Keputusan PHK. "Dan ketika surat penolakan disampaikan secara tertulis dan lisan, bukannya merespon dengan menyelesaikan tahapan-tahapan penyelesaian perselisihan hak dan memberikan upah yang masih menjadi hak Bro Syaiful, mereka justru mentransfer uang pisah," jelasnya [baca: Manajemen SCTV Sembrono].

Untuk menutupi sikap kekanak-kanakan dan kesembronoannya, kata Fauzi, mereka pun menunjuk seorang kuasa hukum saat menerima undangan perundingan bipatrit dari pengurus Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) [baca: Hadapi Bipatrit, Manajemen SCTV Didampingi Kuasa Hukum]. "Sikap ini tak beda jauh seperti kantor mereka didatangi massa yang menyampaikan aspirasinya. Mereka mengundang sekitar 200 anggota Brimob dan diminta berjaga di depan kantor, sementara pihak manajemen bersembunyi di balik aparat keamanan," jelasnya [baca: SCTV Dihadiahi Pocong dan Keranda]

Jadi, kata Fauzi, kali ini mereka mencoba berlindung di balik jas kuasa hukumnya. "Mereka beruntung karena didampingi oleh kuasa hukum yang brilian dan sangat menguasai UU Ketenagakerjaan, sehingga keputusannya pun bisa diamini dan dianggap mutlak," tambahnya.

Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif LBH Aspek Indonesia Singgih D Atmadja juga menyatakan kekagumannya kepada kuasa hukum yang ditunjuk oleh pihak manajemen SCTV. "Mereka memilih orang yang tepat dan membuat kami makin bersemangat untuk sesegera mungkin membawa kasus ini ke tingkat mediasi. Yang bikin saya kagum, kuasa hukum SCTV malah bernafsu langsung ke PHI," ujarnya.

Singgih yang mendampingi Tim Advokasi SP SCV dalam perundingan bipatrit itu enggan berkomentar terlalu jauh tentang hasil pertemuan. "Yang pasti, saya salut dan kagum kepada teman-teman dari SP SCTV. Bila kuasa hukum manajemen SCTV itu brilian, maka Tim Advokasi SP SCTV tergolong jenius!" tegasnya sambil mengacungkan dua jempolnya.

Sementara Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda juga menyatakan pujiannya kepada manajemen SCTV dan kuasa hukumnya. "Kami merasa dimuliakan karena Tim Advokasi SP SCTV diberi kehormatan untuk head to head dengan pengacara papan atas," katanya.

Dalam pertemuan kemarin, kata Agus, kami mencoba menyerahkan kembali uang pisah yang memang belum saatnya dikirimkan pihak manajemen SCTV kepada Bro Syaiful. "Mereka menolak dengan logika hukum yang luar biasa, namun kami malas membalasnya karena belum saatnya dan bukan tempatnya," tambahnya.

Pernyataan serupa juga dinyatakan Koordinator Tim Advokasi SP SCTV Sudirman. Menurutnya, kami beritikad baik dengan mendatangi SCTV Tower untuk mengembalikan uang pisah dan pihak HRD menjanjikan bahwa uang pisah akan diterima oleh Widodo (Pjs. Kadiv HRD SCTV, red) di kantor kuasa hukumnya [baca: Tim Advokasi SP SCTV Datangi SCTV Tower]. "Perundingan itu membuat kami berkeyakinan bahwa pihak manajemen SCTV memang tidak pernah memiliki itikad baik dalam setiap penyelesaian perselisihan dengan para pekerjanya," tekannya.

Tim Advokasi SP SCTV juga berkesimpulan, sejak awal pihak manajemen SCTV berniat menggiring masalah ini dari perselisihan hak menjadi perselisihan PHK melalui pengiriman surat Keputasan PHK secara sepihak dan uang pisah. "Lucunya, mereka menafsirkan perselisihan hak seperti yang disebutkan dalam surat undangan sebagai cara mendiskusikan hak (pesangon, pen). Mereka memang brilian dan layak mendapatkan hadiah duplikasi pocong dan keranda mayat," puji Sudirman.[]

Lihat juga video: KERANDA SCTV

Hadapi Bipatrit, Manajemen SCTV Didampingi Kuasa Hukum

Menghadapi perundingan biptrit dalam penyelesaian  hubungan industrial antara Bro Syaiful dan Manajemen Surya Citra Televisi (SCTV), pihak SCTV didampingi kuasa hukum dari Ranto P Simanjuntak & Partners. Kepastian itu didapatkan pengurus Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) setelah menerima undangan perundingan bipatrit dari kantor pengacara itu pada Selasa (29/1) lalu.

"Surat tertanggal 29 Januari 2013 merupakan tanggapan atas undangan yang kami layangkan ke pihak manajemen SCTV pada 25 Januari 2013 lalu untuk menerima kami pada 28 Januari 2013. Namun, mereka mengundurkan jadwal menjadi 30 Januari 2013 dan sekaligus memindahkan lokasi pertemuan ke kantor kuasa hukumnya," jelas Sekretaris I SP SCTV M Eka Rizki [baca: Tim Advokasi SP SCTV Datangi SCTV Tower].

Bagi pengurus SP SCTV, kata Eka, ini merupakan tantangan sekaligus kebanggaan karena pada kasus pertama yang kami tangani, kami langsung dihadapkan kepada kuasa hukum mereka. "Saya tidak tahu alasan penunjukkan itu, yang pasti, kami akan siap menghadapi siapa pun dan di mana pun," tegasnya.

Pengurus SP SCTV telah mengutus Agus Suhanda, M Eka Rizki, Sudirman, dan Erwin Projolukito sebagai Tim Advokasi Khusus SP SCTV yang menerima kuasa khusus dari Bro Syaiful. "Pada tingkat tripatrit dan PHI, kami akan terus mendampingi Bro Syaiful bersama teman-teman dari LBH Aspek Indonesia," tambah Eka.

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif LBH Aspek Indonesia Singgih D Atmadja menyatakan kekagumannya atas kiprah SP SCTV. "Tim Advokasi SP SCTV harus menjadi tonggak keberadaan SP SCTV di kantor SCTV, sekaligus memperlihatkan kinerjanya dalam setiap penyelesaian hubungan industrial di stasiun televisi tersebut," jelasnya.

Karena itu, kata Singgih, LBH Aspek Indonesia akan terus memberikan dukungan penuh kepada Tim Advokasi SP SCTV dan juga pengurus SP SCTV. "Sekarang saatnya, para pekerja tetap SCTV bergabung bersama SP SCTV. Sekarang merupakan saatnya mereka berserikat, kecuali bila mereka ingin menjadi sasaaran pendzoliman dari pihak manajemen SCTV," tegasnya.

Singgih menunjuk kasus perselisihan hubungan industrial yang dialami oleh 40 pekerja tetap Divisi General Services SCTV dan seorang jurnalis Liputan 6. "Kiprah Tim Advokasi SP SCTV dalam mendampingi Bro Syaiful merupakan pembuktian dari manfaat berserikat di SCTV," katanya.[]

Tim Advokasi SP SCTV Datangi SCTV Tower

Tim Advokasi Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) mendatangi SCTV Tower di Jalan Asia Afrika Lot 19, Jakarta Pusat,  Rabu (30/1). "Ini itikad baik kami dalam penyelesaian perselisihan hubungan indusrial antara SCTV dan rekan kami, Bro Syaiful," jelas Koordinator Tim Advokasi SP SCTV Sudirman.

Rencananya, kata Sudirman, pertemuan akan dilaksanakan pada Senin (28/1) lalu tapi tiba-tiba pihak manajemen SCTV meminta diundur menjadi hari ini. "Lucunya, mereka juga tiba-tiba saja memindahkan lokasi pertemuan dari SCTV Tower ke kantor kuasa hukum mereka di kawasan Jalan KH Mas Mansyur. Artinya, mereka telah menyiapkan kuasa hukum demi menghadapi perundingan bipatrit ini," katanya.

Menurut Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda, tujuan kedatangan kami sudah pasti, yakni mengembalikan uang pisah yang ditransfer pihak manajemen SCTV kepada Bro Syaiful. "Padahal, Bro Syaiful sudah dua kali menyampaikan penolakan atas keputusan PHK secara tertulis dan satu kali menyampaikan penolakan atas keputusan itu secara lisan. Dalam konteks seperti ini sangat keliru bila mereka mengirimkan uang pisah, tetapi seharusnya membayarkan gaji yang masih menjadi haknya," jelasnya.

Kedatangan Tim Advokasi SP SCTV tidak mendapatkan respon yang menggembirakan dari pihak manajemen SCTV karena pihak HRD yang mendapatkan delegasi, justru telah berada di kantor kuasa hukumnya. Namun Tim Advokasi SP SCTV tetap meminta staf HRD untuk menerima kehadiran mereka.

"Kami diterima staf HRD bernama Dhea, namun ia menolak menerima uang pisah karena uang pisah itu, katanya, akan diterima Saudara Widodo di kantor kuasa hukum mereka," kata Sudirman. "Yang penting, kami telah menunjukkan itikad baik dan disiplin kepada aturan, serta menunjukkan keberadaan kami sebagai Tim Advokasi SP SCTV di kantor kami sendiri."

Tim Advokasi SP SCTV merupakan bagian dari kepengurusan SP SCTV yang berperan dalam pelayanan advokasi hingga pendampingan para anggota yang berselisih dengan perusahaan. Tim ini terdiri atas Sudirman dan Erwin Projolukito, yang didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (LBH Aspek Indonesia).

"Kami bangga dan merasakan apreasiasi yang luar biasa dari pihak manajamen SCTV karena pada kasus pertama yang kami tangani, kami langsung dihadapkan dengan kuasa hukum yang ditunjuk oleh pihak manajemen SCTV," tegas Sudirman. "Semula kami menduga, kami sekadar dihadapkan kepada HRD SCTV."[] 
  

Selasa, 29 Januari 2013

Keranda SCTV



Pertengahan 2012, manajemen SCTV memberlakukan kebijakan outsourcing secara terbuka, dengan melakukan intimidasi dan pemaksaan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 159 pekerja tetap dari Divisi General Services. Walhasil, sekitar 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan diberikan “bonus” berupa dipekerjakan kembali dengan status sebagai pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak hingga menerima keputusan skorsing secara sepihak.

Selama tujuh bulan terakhir, ke-40 pekerja tetap itu, didukung DPP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK INDONESIA) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), memperjuangankan haknya melalui upaya hukum, serta aksi-aksi massa dan publisitas melalui media.

Pada 14 Januari lalu, para pekerja tetap yang tergabung dalam Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) itu kembali mendatangi SCTV Tower di Jalan Asia Afrika Lot 19, Jakarta Pusat. Selain menyampaikan aspirasi, mereka juga menghadiahi duplikasi pocong dan keranda mayat kepada pihak SCTV [baca: SCTV Dihadiahi Pocong dan Keranda Mayat serta Semiotika Pocong dan Keranda Mayat].

Hadiah duplikasi pocong dan keranda mayat itu bukan sekadar simbol kematian dua anggota keluarga pekerja tetap yang terjadi saat skorsing dan akses pengobatannya dicabut, tapi juga merupakan simbol kematian nurani para pemilik dan pengelola SCTV.

Dan aksi simpatik para pekerja media itu pun kita bisa disaksikan dalam bentuk film dokumenter bertajuk Keranda SCTV. Selengkapnya, klik KERANDA SCTV.[]

Jumat, 25 Januari 2013

Aksi Solidaritas SP SCTV di PT Centris









Warga Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) melakukan aksi solidaritas terhadap para pekerja kontrak PT Centris di halaman perusahaan itu di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara, Jumat (25/1). Dalam aksi itu, sekitar 200 pekerja meminta PT Cetris agar keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Ketua Umum Serikat Pekerja PT Cetris Rizal.

Aksi yang dilakukan sejak pukul 10.00 WIB itu diisi dengan orasi-orasi para pengurus SP PT Cetris, DPP Aspek Indonesia, juga SP SCTV. Para pengunjuk rasa, termasuk sekitar 30 anggota SP SCTV yang saat ini menjalani skorsing, juga menyampaikan sejumlah tuntutan.

Pengurus SP SCTV menyatakan prihatin atas nasib yang dialami oleh para pekerja PT Centris. "Kami atas terus mendukung setiap aksi teman-teman. Ini adalah komitmen solidaritas kami terhadap setiap aksi buruh," jelas Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda.


Senin, 21 Januari 2013

Manajemen SCTV Sembrono

Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) cenderung sembrono dalam penyelesaian hubungan industrial dengan para pekerjanya. Demikian ditegaskan Ketua Umum Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) Agus Suhanda di Jakarta, Senin (21/1), terkait keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak terhadap seorang jurnalis Liputan 6, Bro Syaiful.

"Kasus yang dialami oleh Bro Syaiful masih di tingkat bipatrit dan belum menghasilkan kesepakatan apa pun. Lantas tiba-tiba pihak HRD SCTV mengirimkan surat Keputusan PHK via pos, bahkan pada Jumat lalu (18/1) pihak HRD SCTV juga mentransfer uang sebesar Rp 21.449.067 sebagai uang pisah," jelas Agus. "Ini kan sembrono,  namanya! Padahal, Bro Syaiful sudah menyampaikan surat penolakan kepada Direktur Utama SCTV Sutanto Hartono."

Agus menguraikan, kasus yang dialami oleh Bro Syaiful terjadi sejak Agustus tahun lalu. Saat itu, katanya, atasannya mempertanyakan pemuatan berita bom molotov yang dilemparkan ke SCTV Tower di portal Liputan6.com. "Bro Syaiful bukan pembuat dan orang yang bertanggung jawab atas pemuatan berita itu. Lucunya, Sdr. Merdi Sofansyah malah menggulirkan wacana golden shake hand (baca: PHK)," tambahnya.

Persoalan internal di Divisi Pemberitaan SCTV atau Liputan 6 itu pun, cerita Agus, berkembang hingga Bro Syaiful dikembalikan ke Divisi Pemberitaan lantaran Departemen Website telah berganti menjadi PT Karya Media Kreatif, anak perusahaan PT EMTK yang bergerak dalam pengelolaan portal Liputan 6. "Lucunya lagi, atasannya di Departemen Website makin mengkriminalisasikannya dan melaporkannya ke HRD atas tuduhan indisipliner," katanya.

Ketika proses penyelesaian perselisihan hak masih berlangsung dan HRD tidak mampu mengirimkan surat panggilan, jelas Agus, pihak HRD mengirimkan surat Keputusan PHK via pos. "Bahkan surat hanya dimasukkan ke dalam kotak surat. "Ketika keputusan itu dipertanyakan, pihak HRD justru menawarkan kompensasi berupa pesangon dan uang penghargaan. Bro Syaiful menolak dan mengajak pihak HRD, agar menyelesaikan perselisihan itu di pengadilan hubungan industrial (PHI)," tambahnya.

Namun, urai Agus, tiba-tiba saja pihak HRD mengirimkan uang pisah. "Kalau bukan sembrono, lantas apa namnya? Mereka mengabaikan keberadaan UU Ketenagakerjaan dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrrial, bahkan UU HAM dan UU Serikat Pekerja. Ada aroma union busting di sini, karena Bro Syaiful itu merupakan Ketua Harian SP SCTV," tegasnya.

Di tempat terpisah, LBH Aspek Indonesia juga menyatakan keheranannya atas ulah manajemen SCTV. "Ini sangat lucu, seakan-akan perusahaan sekelas SCTV tidak memiliki tim legal yang handal," jelas Ahmad Fauzi di Kantor Aspek Indonesia di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Apa yang dialami oleh Bro Syaiful, kata Fauzi, mengindikasikan upaya HRD SCTV yang berkeinginan menggiring Bro Syaiful dari perselisihan hak menjadi perselisihan PHK. "Muaranya adalah penguatan keputusan PHK atau pengaturan jumlah pesangon, serta lari dari esensi masalah yang sebenarnya," tegasnya.

Untuk itu, kata Fauzi, pihak LBH Aspek juga teman-teman serikat pekerja lain di bawah DPP Aspek Indonesia akan memberikan dukungan penuh berupa pendampingan sejak tingkat bipatrit hingga PHI, bahkan Mahkamah Agung. "Kalau perlu, kami juga akan melakukan berbagai aksi di kantor SCTV dan tempat-tempat lain," tegasnya.

Dalam waktu dekat, Tim Advokasi SP SCTV akan meminta kesediaan pihak SCTV untuk menuntaskan perselisihan hak di tingkat bipatrit. "Mereka cenderung beritikad buruk dengan menolak menandatangani risalah sebagai upaya menghambat penyelesaian secara hukum. Wajar saja karena mereka memang sembrono!" tambah Agus.[]

Jumat, 18 Januari 2013

Aksi Buruh Menyisakan Tumpukan Sampah


Liputan6.com, Jakarta: Aksi turun ke jalan ribuan buruh yang tergabung dalam Gerakan HOSTUM (Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah) menyisakan gunungan sampah, Kamis (12/7). Sampah-sampah mengotori hampir setiap jalan yang dilewati para buruh. Sampah kering dan basah dibuang begitu saja di jalanan sehingga menimbulkan bau tidak sedap.

Namun tumpukan sampah ini justru menguntungkan para pemulung. Mereka menilai sampah yang berserakan sebagai 'ladang uang'. Bejo, salah satu pemulung plastik mengatakan hasil "garukannya" bertambah tiap ada demo. "Setiap ada demo kan sampahnya selalu banyak," katanya. Namun demikian membuang sampah sembarangan tidak bisa dijadikan sebagai contoh yang baik bagi masyarakat.(YGI/BEN/JUM)

Video Terkait: KERANDA SCTV


Manajemen SCTV Lakukan Intimidasi Terhadap Pekerja


Jakarta, politisiindonesia.co: Serikat Pekerja SCTV  yang melakukan unjuk rasa di kantor SCTV Jalan Asia Afrika, Jakarta, Senin  (14/1)  menilai, strategi   komodifikasi  media  diaplikasikan  manajemen SCTV  secara kasar dan semena-mena dengan melakukan  diskriminasi, intimidasi dan keputusan pemutusan  hubungan kerja (PHK) secara  sepihak terhadap seorang jurnalis Liputan 6 pada pertengahan Desember 2012  tanpa pesangon sepeserpun.

Bahkan, kata SP SCTV, penolakan atas keputusan itu justru dibalas pihak HRD dengan menawarkan pesangon yang merujuk pada Pasal 156 ayat 2,3 dan 4 serta  tetap bersikeras  tidak membayarkan upahnya.  Padahal, Undang-undang  Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan pekerja yang tengah terlibat  perselisihan  PHK harus tetap menerima upah.

Terkait pelaksanaan praktek diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK (bahkan PHK sepihak) yang dilakukan SCTV, pihak HRD juga terbiasa  menggunakan Undang-undang Nomor  13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja dengan tafsiran mana suka guna mementahkan pembelaan para pekerja. Cara ini,  katanya,  bukan hanya merupakan pembodohan terhadap para pekerja, tetapi juga pelecehan terhadap ketentuan hukum.

Bagi SP SCTV, peristiwa-peristiwa di atas bukan sekedar persoalan-persoalan ketenagakerjaan dengan segala implikasi hukumnya, tapi juga  merupakan persoalan kemanusiaan. Pada wilayah tersebut, pekerja  bukan lagi dianggap sebagai manusia dengan segala  kesempurnaannya, tapi lebih dari sapi perah atau komoditas  tanpa hak dan masa depan.  ‘’Hal  ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan  penjajahan manusia atas manusia,’’papar SP SCTV.

SP SCTV menuntut manajemen SCTV agar segera mencabut surat keputusan skorsing secara sepihak terhadap 40 pekerja tetap divisi general services dan segera mempekerjakan kembali. Manajemen SCTV agar segera mencabut surat keputusan PHK sepihak terhadap seorang jurnalis liputan 6 dan segera mempekerjakan kembali. Manajemen SCTV agar segera menghentikan praktik-praktik diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK terhadap seluruh pekerja tetap. Agar segera  menghentikan kebijakan pemberdayaan tenaga outsoucing dan tenaga kerja dengan upah murah.(politisiindonesia)

Video Terkait: KERANDA SCTV

Ratusan Pekerja SCTV Unjuk Rasa Tolak Outsourcing


Jakarta, politisiindonesia.co: Pekerja  SCTV (Surya Citra Televisi) yang bergabung dalam  Serikat Pekerja SCTV melakukan unjuk rasa besar-besaran di depan  kantor  SCTV—Jalan Asia Afrika, Jakarta  Pusat,  Senin (14/1) pagi.  Mereka  secara   tegas menolak  diberlakukan  praktik outsourcing   di televisi swasta tersebut.

Sekitar 700 buruh yang tergabung dalam Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspek Indonesia) sebelum  mengelar aksi unjuk rasa di depan gedung  SCTV mereka  berkumpul  di depan Gedung Telkomsel, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Kemudian, dilanjutkan beriringan dengan menggunakan sepeda motor menuju gedung SCTV di Jalan Asia Afrika.

Para buruh yang sebagian besar petugas keamanan atau Satpam di PT Telkomsel dan SCTV, menuntut agar dihapuskan sistem outsourcing (alih daya) yang berkelanjutan. Mereka juga meminta agar Satpam yang sudah menjadi pegawai tetap tidak dilimpahkan ke perusahaan outsourcing PT Graha Sarana Duta dan ISS. Aksi unjuk rasa tersebut diawasi aparat kepolisian Polsek Tanah Abang, Jakpus. 

Sementara itu, dalam pernyataan tertulis  Serikat Pekerja (SP)  SCTV  yang ditandatangani Ketua Umum Agus Suhada dan Sekretaris I SP SCTV  Muhammad Eka Rizki  dijelaskan, tahun 2012 merupakan tahun keprihatinan bagi para pekerja  tetap di lingkungan stasion SCTV. Tahun ini menjadi pembuktian  diterapkannya konsep flexibility labor   market (pasar kerja fleksibel) oleh manajemen  SCTV yang dengan gegap gempita memaksakan  praktek outsourcing secara salah kaprah terhadap pekerja tetap  di  sejumlah divisi.

Konsep itu, katanya, secara terbuka memberlakukan aturan  ‘’mudah merekrut dengan upah murah dan mudah mem-PHK dengan biaya murah.’’  Para pekerja tetap SCTV hanya dijadikan dan diposisikan sebagai sapi perah atau alat produksi yang akan diperas habis-habisan di usia produktif dan akan dibuang  seketika ketika dianggap  tidak produktif.

Menurut  SP SCTV,  konsep  flexibility labor   market  juga diaplikan secara kasar dan  semena-mena dengan melakukan diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaaan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 159 pekerja dari Divisi General  Services pada  Juni 2012. ‘’Walhasil, sekitar 119 pekerja tetap berhasil di- PHK dan diberikan ‘’bonus’’ berupa dipekerjakan kembali dengan status sebagai pekerja outsourcing. Sedang 40 pekerja tetap lainnya memilih menolak dan hingga kini kasusnya belum tuntas,’’kata SP SCTV.

Dalam situasi berbeda, tambahnya, manajemen SCTV melalui jajaran pimpinan di tingkat divisi dan departemen, juga sangat  aktif menjalankan stategi  komodifikasi media yang mengkonsepkan khalayak, organisasi,  pekerja dan isi media sebagai komoditas. Di tingkat komodifikasi pekerja, strategi itu diterjemahkan dengan membangun kondisi ketikdaknyamanan, bahkan hingga  mengarahkan ke satu modus: diskriminasi, intimidasi dan pemaksaan PHK terhadap  seluruh pekerja tetap, termasuk pekerja tetap dari kalangan  kreatif dan jurnalis televisi.

Sementara, bagi pekerja  yang lebih kuat dan memilih bertahan, maka ia akan menerima perlakuan ‘’khusus’’ yang  mengarah pada penurunan kinerja. Pada tahap berikutnya, rancangan kesalahan yang melibatkan HRD pun terjadi dan memaksa pekerja tetap  tersebut mengundurkan diri. (politisiindonesia)

Video Terkait: KERANDA SCTV

Kamis, 17 Januari 2013

Semiotika Pocong dan Keranda Mayat



Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed, 2011). Lebih jauh, Benny H. Hoed memaparkan bahwa para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda).

Untuk kebutuhan pembacaan atas peristiwa yang menampilkan aksi, termasuk kasus pemberian hadiah duplikasi pocong dan keranda mayat dalam Aksi Simpatik SP SCTV di SCTV Tower beberapa waktu lalu, saya menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Karena itu, uraian pada bagian ini seluruh mengarah pada model dikotomis penanda-petanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C)). Jadi, sesuai teori de Saussure, tanda adalah “relasi” (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C.

Dalam kehidupan sosial budaya, jelas Hoed, pemakai tanda tak hanya memaknainya sebagai denotasi, yakni makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes, denotasi disebut sebagai sistem “pertama” atau “primer”. Biasanya pemakai tanda pengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem “kedua” atau “sekunder”. Bila pengembangannya ke arah E menjadi metabahasa. Artinya, pemakai tanda memberikan bentuk berbeda untuk makna yang sama. Misalnya, makna “tempat untuk narapidana dikurung”, selain kata penjara, pemakai tanda juga menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan.

Sedangkan ketika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.

Cukup rumit menjelaskan analisis semiotika dalam bahasa yang sangat sederhana karena sejatinya uraian permasalahan tersebut memang membutuhkan halaman panjang. Poin akhir dari seluruh penjelasan adalah adanya pemaknaan secara denotatif dan konotatif. Lantas pada tahap berikutnya, pemaknaan konotatif itu pun menjadi mitos, serta bila telah ajeg ia akan menjadi ideologi. Penjelasan singkat di atas tetap ditampilkan, paling tidak bisa menjadi penegas, uraian tentang kasus yang ditampilkan dalam tulisan ini memiliki pondasi. Artinya, tidak sekadar asal ngejeplak!

Saya akan langsung pada poin pembahasan. 

Dalam aksi dan rekaman video terlihat sejumlah pengunjuk rasa membawa pocong anak kecil dan keranda mayat dalam Aksi Simpatik SP SCTV di SCTV Tower. Seorang pengunjuk rasa mengenakan baju koko hitam dan kopiah hitam membawa duplikasi pocong di atas kedua tangannya. Sorot matanya tajam dan mulutnya terkunci rapat. Ia berjalan tegap di bagian depan. 

Pengunjuk rasa itu mewakili sosok Pak Darmayanto, satu dari 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing. Sementara duplikasi pocong di tangannya adalah sosok Rangga Ajie Khairul Darma, bocah berusia 3,5 tahun dan putra ketiga Pak Darmayanto. Ia mengidap penyakit kanker darah. Ia sempat dirawat di rumah sakit. Namun, saat masa skorsing berlangsung, pihak HRD SCTV menutup akses asuransi untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pak Darmayanto pun membawa anaknya pulang dan dirawat sekadarnya. 

Persis 12 Agustus 2012, atau dua bulan setelah masa skorsing diberlakukan, Rangga menghembuskan nafas terakhir di pelukan ayahnya, Pak Darmayanto. Tragis!

Secara denotatif, aksi membawa duplikasi pocong oleh pengunjuk rasa berpakaian koko hitam dan kopiah hitam merupakan reacment atau reka ulang atas peristiwa tragis yang dialami oleh Pak Darmayanto, lengkap dengan segala ketegaran dan kepedihannya. Pada aksi unjuk rasa itu, Pak Darmayanto berada di barisan lain seraya terus menghisap rokok untuk membunuh kegundahannya. Narasi dari atas mobil komando tak urung membuatnya menangis lantaran teringat akan duka yang terus dirasakannya.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa para pengunjuk rasa telah mengirimkan pesan denotatif soal peristiwa tragis yang dialami oleh seorang korban skorsing dan regulasi pemberdayaan pekerja outsourcing di SCTV. Pesan ini sangat telanjang dan jelas: peristiwa buruk yang dialami pekerja semasa perusahaan menjatuhkan kebijakannya. Dan kebijakan itu menimbulkan korban jiwa: seorang bocah!

Beranjak kepada pembacaan secara konotatif, maka akan semakin berhamburan pesan yang ingin disampaikan dalam aksi itu. Pakaian hitam dan kopiah hitam yang dikenakan oleh pengunjuk rasa menandakan duka mendalam yang dirasakannya hingga sekarang. Ia terus menggendong sang putra dan ini memberikan pembuktian bahwa ia sangat terpukul hingga tak ikhlas memberikan jasad itu kepada orang lain.

Ia ingin terus mendekapnya hingga ia memasuki liang lahat. Pesan yang ingin dikatakan: bisakah kita merasakan duka Pak Darmayanto, bisakah pihak manajemen SCTV merasakan kesedihan Pak Darmayanto, dan bisakah para pemilik modal SCTV memikirkan ulang penerapan kebijakan outsourcing agar tak membunuh nasib para pekerja tetapnya?

Sedangkan aksi membawa keranda mayat, sesungguhnya juga merupakan reacment atau reka ulang atas wafatnya istri Suyanto, satu dari 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing. Meski masih dibutuhkan pembuktian soal hubungan sebab-akibat antara peristiwa skorsing dan peristiwa kematian sang pekerja, hal itu tidak bisa menghapuskan kenyataan bahwa peristiwa kematian itu terjadi di tengah masa skorsing.

Ada fakta yang tidak bisa dibantah bahwa peristiwa skorsing yang mengarah pada PHK telah menghancurkan mental para istri dan anak-anak para pekerja. Bayangkanlah bila keresehan itu juga mesti dialami oleh seorang istri yang sakit parah.

Secara denotatif, aksi membawa keranda mayat oleh sejumlah pengunjuk rasa itu merupakan pesan soal peristiwa tragis yang dialami oleh seorang korban skorsing dan regulasi pemberdayaan pekerja outsourcing di SCTV. Pesan ini sangat telanjang dan jelas: peristiwa buruk yang dialami pekerja semasa perusahaan menjatuhkan kebijakannya. Dan kebijakan itu menimbulkan korban jiwa: dari kalangan istri pekerja tetap!

Beranjak kepada pembacaan secara konotatif, maka akan semakin berhamburan pesan yang ingin disampaikan dalam aksi itu. Ekspresi dingin para pembawa keranda mayat menandakan duka mendalam yang dirasakan oleh teman-teman korban. Mereka memberikan pembuktian bahwa mereka juga sangat terpukul dan tak ikhlas mesti ada korban lain setelah kematian Rangga. Pesan yang ingin dikatakan: bisakah kita merasakan duka Pak Suyanto dan teman-temannya, bisakah pihak manajemen SCTV merasakan kesedihan Pak Suyanto dan teman-temannya, dan bisakah para pemilik modal SCTV memikirkan ulang penerapan kebijakan outsourcing agar tak “membunuh” nasib para pekerja tetapnya?

Aksi itu merupakan pesan tentang  sejarah hitam di perusahaan itu. Sebuah catatan tentang kesewenang-wenangan pihak manajemen SCTV terhadap pekerja tetapnya. Pesan itu begitu kuat. Karena itu, para pengunjuk rasa pun makin mempertajamnya dengan sengaja membawa masuk ke areal pusat perbelanjaan Senayan City (bahkan diiiringi kalimat Inna lillahi wa ina ilaihi rojiun), guna diserahkan kepada pihak manajemen. 

Parahnyam, sepasukan keamanan gedung mencoba menahannya. Maka, suasana dramatis pun semakin menjadi-jadi. Bila tidak dikendalikan, penghambatan ini bisa menyulut emosi para pengunjuk rasa lain. Syukurlah, perdebatan itu tidak panjang dan memberi peluang pembawa duplikasi pocong dan keranda mayat memasuki areal hingga lobi SCTV Tower. 

Di tempat itu, sempat teerjadi ketegangan lantaran pihak manajemen SCTV bersikeras menolak menerima kedua simbol kesewenang-wenangan perusahaan terhadap para pekerja tetapnya itu. Padahal di tempat itu, di antara para petugas keamanan, juga terlihat Sekretaris Perusahaan Hardijanto Suroso, Wakil Pemimpin Redaksi Liputan 6 Putut Trihusodo, juga Pjs. Kadiv HRD Widodo. Bahkan, duplikasi pocong dan keranda mayat sempat digeletakkan di atas tanah sambil “menyaksikan:” perdebatan antara pengunjuk rasa dan perwakilan manajemen SCTV.

Peristiwa penggeletakan duplikasi pocong dan keranda mayat itu, secara konotatif, makin memperkuat penafsiran bahwa pihak manajemen SCTV memang tidak pernah menghargai simbol-simbol kedukaan, pihak manajemen SCTV memang tidak pernah peka terhadap perasaan para pekerja tetapnya, dan pihak manajemen SCTV memang tidak pernah mempedulikan akibat-akibat atas perbuatanya. Hati para pengelola perusahaan media itu telah membatu dan bebal. Dan ini memperkuat kenyataan soal pembelakuan kebijakan perusahaan yang memang sangat tidak berpihak kepada pekerjanya. Lebih khusus lagi, bila hal ini ditujukan kepada pemilik modal SCTV [baca: The Three Musketers Sariaatmadja] yang selama ini dihgembar-gemborkan santun dan religius, ternyata bohong belaka. Sekadar pencitraan!

Dengan demikian, mitos tentang kerakusan pengusaha-pengusaha kapitalis yang belakangan ini berhamburan ke wilayah media, makin tidak terbantahkan. Kerakusan mereka yang mesti diimplementasikan dalam bentuk efisiensi hingga pemberdayaan pekerja outsourcing secara gila-gilaan memang bukan rumor. Bahkan, para pengelola itu pun tak memperdulikan social cost dan akibat-akibat lain yang dimunculkan akibat ambisi menjalankan strategi yang dijalankan secara arogan itu.  

Inikah ideologi yang dibanggakan oleh kalangan kapitalis?

Pembacaan atas peristiwa Aksi Simpatik SP SCTV dengan penghadiahan duplikasi pocong dan keranda mayat, barangkali, bisa menjadi bahan perenungan soal keberadaan media di Tanah Air. Kali ini, kita tidak menyinggung soal pelanggaran demi pelanggaran terkait penggunaan frekuensi publik, pelibatan modal asing dalam bisnis media itu, transparansi akuisisi atau merger media sejenis, hingga sampah-sampah dalam rupa isi media. Karena, ternyata cara penanganan perusahaan media itu terhadap pekerja tetapnya, memang sangat tidak manusiawi dan sangat memperkokoh citranya sebagai budak kapitalis.

Video Terkait: KERANDA SCTV



Aksi Simpatik SP SCTV di Rakyat Merdeka


HAPUS OUTSOURCING: Ratusan buruh dari Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) demonstrasi di depan Gedung SCTV, Jakarta, Senin (14/1) kemarin. Mereka menuntut penghapusan outsourcing.

Video Terkait: KERANDA SCTV

Selasa, 15 Januari 2013

Galeri Foto Aksi Simpatik SP SCTV





















Wajah-wajah yang keras, marah, dan berkobar-kobar, berpadu dengan wajah-wajah yang tetap tegar, tersenyum, tertawa, dan berani mengepalkan optimisme. Mereka bersatu dalam Aksi Simpatik Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) di halaman SCTV Tower, Jalan Asia Afrika Lot 19, Jakarta Pusat, pada Senin (14/1) lalu.

Video Terkait: KERANDA SCTV