Jumat, 19 Juli 2013

Hakim Batalkan Peralihan Status Pekerja SCTV

Perkara perselisihan PHK yang diajukan manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) kandas di PHI Jakarta. Pasalnya, majelis menolak seluruh gugatan PHK yang diajukan manajemen selaku penggugat terhadap 40 pekerjanya yangmenolak di-outsourcing. Sekali pun dalam persidangan, penggugat menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon, majelis melihat Agus Suhanda dkk menolaknya dan menginginkan untuk tetap bekerja.

Anggota majelis hakim Saut C Manalusaat membacakan pertimbangan putusan mengatakan, penggugat beralasan pengalihan ke perusahan outsourcing dilakukan agar perusahaan fokus pada bisnis inti, yaitu bidang pertelevisian. Sementara, penggugat menilai Agus Suhanda dkk mengerjakan pekerjaan penunjang seperti sopir dan petugas keamanan. Oleh karenanya, sebagaimana berkas yang diajukan di persidangan, Saut mengatakan, penggugat mengalihkan Agus Suhanda dkk ke sebuah perusahaan outsourcing bernama PT ISS Indonesia.

Ketika melaksanakan pengalihan itu penggugat merasa sudah sesuai dengan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto Permenakertrans Outsourcing. Sebelum menjalankan pengalihan itu, Saut menyebut, penggugat mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada para pekerja. Penggugat juga memberi beberapa tawaran kepada pekerja yang hendak dialihkan. Namun, mengingat Agus Suhanda dkk tetap menolak dialihkan, penggugat melakukan PHK.

Saut menjelaskan, tergugat mendalilkan Agus Suhanda dkk merupakan pekerja tetap karena masa kerja mereka berkisar 9-20 tahun. Oleh karenanya, tergugat beralasan pengalihan itu tidak punya dasar hukum dan bertentangan dengan pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selain itu para tergugat berpendirian mengacu pasal 170 UU Ketenagakerjaan, penggugat wajib mempekerjakan kembali Agus Suhanda dkk.

Atas perkara itu, Saut melanjutkan, majelis hakim berpendirian bahwa pokok perkara bermuara pada pertanyaan, yaitu apakah penggugat memiliki alasan yang cukup dan valid dalam melakukan PHK sebagaimana dimaksud pasal 152 UU Ketenagakerjaan? Mengacu ketentuan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto pasal 17 Permenakertrans Outsourcing, pengusaha atau penggugat diberikan hak oleh UU untuk mengalihkan sebagaian pekerjaannya, yakni menyerahkan pekerjaan penunjang kepada perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerjaan.

Tak ketinggalan dalam pendiriannya, majelis mempertanyakan apabila pengalihan itu dilakukan kepada pekerjaan yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan apakah serta merta mengakibatkan PHK kepada pekerjanya? Saut juga menjelaskan dalam putusan, majelis hakim mengakui PHK yang dilakukan penggugat hingga ke PHI telah memenuhi ketentuan yang diatur UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI, namun, lagi-lagi majelis menekankan apakah pengalihan itu secara serta merta mengakibatkan PHK.

“Sekalipun dalam persidangan para tergugat tidak mengajukan tuntutan pembatalan pengalihan pekerjaan (pembatalan outsourcing) yang dilakukan penggugat, majelis berpendirian pengalihan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak serta merta mengakibatkan PHK terhadap pekerja,” kata Saut membacakan putusan di ruang sidang I PHI Jakarta, Rabu (18/7).

Masih membacakan putusan, majelis berpendirian setiap PHK harus memiliki alasan yang valid sebagaimana pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Tapi selama persidangan, Saut mengatakan penggugat tidak menjelaskan hal itu lebih dalam sehingga pengalihan itu seolah langsung disertai dengan PHK.

Dari fakta yang diperoleh dalam persidangan, Saut mengatakan, pengalihan itu dilakukan penggugat kepada PT ISS setelah didahului presentasi dari PT ISS kepada penggugat. Kemudian, meskipun penggugat telah mengalihkan pekerjaan itu kepada PT ISS, namun pekerjaan tersebut masih ada dan masih berlangsung di tempat yang sama, serta masih dikerjakan oleh para tergugat yang telah dialihkan status kerjanya kepada PT ISS. Begitu pula dengan peralatan kerja yang digunakan, majelis melihat masih menggunakan peralatan yang dimiliki oleh penggugat.

Peralatan itu, menurut majelis, sama seperti peralatan yang digunakan para pekerja sebelum dialihkan ke PT ISS. Berdasarkan fakta-fakta itu majelis menilai, penggugat tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada para pekerjanya, begitu pula dengan dampak ketika mereka dialihkan. “Setelah pengalihan dilakukan ternyata pekerjaan tersebut masih terintegrasi dalam organisasi perusahaan penggugat. Dan peralatan kerjanya terutama untuk supir adalah peralatan utama yang dimiliki penggugat, bukan PT ISS,” urainya.

Atas dasar itu, terkait pengalihan para pekerja ke PT ISS, majelis berpedoman pada semangat pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus berupaya jangan terjadi PHK. Sekalipun PHK harus diputuskan, apalagi sifatnya massal, majelis mengacu Surat Edaran Menakertrans No.907 tahun 2004 tentang Pencegahan PHK Massal. PHK itu, menurut majelis, juga harus mempertimbangkan masa depan pekerja.

Meskipun penggugat menawarkan kepada para pekerja yang dialihkan untuk bekerja di PT ISS, tapi mengacu perjanjian penyediaan jasa pekerja antara PT ISS dan PT SCTV, majelis menilai, pekerjaan itu sifatnya sementara waktu. Selain adanya kekhawatiran jaminan keberlangsungan kerja, majelis melihat ada kecemasan jaminan sosial yang diperoleh para pekerja akan ikut berkurang pula. Oleh karena itu sebelum melakukan PHK, majelis mengingatkan, penggugat harus memperhatikan berbagai hal tersebut.

Majelis juga menegaskan, sebelum memutus hubungan pekerja, harus diperhatikan berat atau ringan dampaknya bagi pekerja dan pengusaha. Pasalnya, dalam banyak kasus tindakan pengusaha yang tetap mempekerjakan para pekerjanya, berdampak kecil bagi lancarnya operasional perusahaan. Sedangkan PHK terhadap para pekerja, tak jarang mengakibatkan ketidakpastian pendapatan dan berujung pada kemiskinan bagi pekerja beserta keluarganya.

Tanpa mencegah arah bisnis penggugat, majelis berpendapat, langkah-langkah untuk mencegah PHK yang dilakukan penggugat tidak berlandaskan alasan hukum yang memadai. “Karena alasan PHK terhadap para pekerja belum memiliki alasan yang valid, maka majelis hakim berpendirian menolak tuntutan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan PHK terhadap tergugat tidak pernah putus dan tetap berlangsung,” tutur Saut.

“Menghukum tergugat rekonvensi untuk segera mempekerjakan penggugat rekonvensi pada pekerjaan dan jabatan semula serta memulihkan hak-hak yang selama ini diperoleh para penggugat rekonvensi,” tutur hakim ketua Amin Ismanto membacakan amar putusan.


Dissenting Opinion
Putusan perkara ini diwarnai dengan perbedaan pendapat alias dissenting opinion. Anggota majelis hakim Sinufa Zebua berpendapat bahwa seharusnya pengadilan memutuskan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dengan alasan bahwa hubungan keduanya sudah tak harmonis lagi.

Zebua berani berpendapat seperti itu karena berdasarkan fakta persidangan terlihat rasa saling curiga antara penggugat dan tergugat. Ia khawatir hubungan kerja tak akan efektif lagi ketika para tergugat dipekerjakan kembali.

“Hubungan antara penggugat dengan para tergugat harus diputus berdasarkan putusan PHI dengan memberikan uang pesangon/kompensasi sesuai UU yang berlaku,” tegas Zinufa membacakan dissenting opinion.

Usai mengikuti sidang itu, salah satu kuasa hukum tergugat dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan pekerja cukup puas dengan putusan itu. Pasalnya, sebagian tuntutan, yaitu mempekerjakan kembali, dikabulkan majelis. Untuk langkah selanjutnya, Fauzi mengaku akan melihat dalam waktu 14 hari ke depan apakah pihak manajemen SCTV akan melakukan kasasi atau tidak. Jika dalam jangka waktu itu kasasi tidak kunjung diajukan maka pekerja mengajukan eksekusi.

“Tapi yang pasti kami senang atas putusan majelis hakim. Menurut kami putusan itu benar, bahwa gugatan PHK yang diajukan penggugat tidak punya dasar,” tukas Fauzi.

Soal adanya perbedaan pendapat dari salah satu anggota majelis, Fauzi berpendapat, hal itu tidak menjadi amar putusan. Sehingga tidak merisaukan bagi para pekerja karena putusannya, mereka dipekerjakan kembali. Bagi Fauzi, perbedaan pendapat itu sebagai salah satu kebebasan yang dimiliki hakim dalam bermusyawarah untuk memutus sebuah perkara. Tak ketinggalan, Fauzi berharap putusan itu berdampak positif terhadap pekerja lain yang statusnya outsourcing. “Apalagi pasca diterbitkan Permenakertrans Outsourcing, tidak sedikit pekerja outsourcing yang di-PHK,” urainya.

Sedangkan salah satu kuasa hukum penggugat, Elizabeth Ritonga, menolak berkomentar ketika ditanya pendapatnya terkait putusan itu.[HUKUM ONLINE]

Jumat, 12 April 2013

Menolak Di-Outsourcing, Puluhan Pekerja SCTV Digugat

Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 40 pekerjanya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Gara-garanya karena para pekerja tersebut menolak dialihkan status dan hubungan kerjanya ke perusahaan outsourcing.

Persidangan yang saat ini masuk agenda pengajuan bukti itu diketuai hakimAmin Ismanto dengan beranggotakan Zinufa Zebua dan Saut Manalu. Sayangnya, ketika diminta keterangan perihal gugatan itu, kuasa hukum manajemen SCTV Yosef Mado, menolak berkomentar. "Langsung saja ke pimpinan," kata dia kepada hukumonline usai bersidang di PHI Jakarta, Kamis (11/4).

Namun, berdasarkanberkas gugatan, pihak manajemen beralasan pengalihan itu karena perusahaan ingin fokus pada kegiatan inti yaitu bidang pertelevisian. Mengingat jenis pekerjaan Tri Handoko dan 39 rekannya dikategorikan manajemen sebagai pekerjaan penunjang seperti supir dan keamanan, maka pengalihan itu dilakukan. Dalam melaksanakan pengalihan itu, pihak manajemen mengacu pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan yang intinya sebuah perusahaan boleh mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal outsourcing.

Tak ketinggalan pihak manajemen pun menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon kepada Tri Handoko dkk. Sayangnya, para pekerja menolak. Untuk menyelesaikan perselisihan itu, kedua pihak sudah menggelar perundingan bipartit dan tripartit, namun tak berbuah hasil yang memuaskan. Alhasil, pihak manajemen melayangkan gugatan PHK kepada Tri Handoko dkk ke PHI Jakarta.

Dalam gugatan itu pihak manajemen memohon sejumlah tuntutan. Di antaranya, meminta majelis memutus hubungan kerja antara SCTV dan Tri Handoko dkk sejak 1 Juni 2012. Serta memerintahkan manajemen untuk memberikan kompensasi kepada Tri Handoko dkk berupa dua kali pesangon yang totalnya mencapai Rp1,6 miliar.

Menanggapi hal itu salah satu kuasa hukum pihak pekerja dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan, para pekerja menolak dialihkan ke perusahaan outsourcing. Menurutnya, Tri Handoko dkk adalah pekerja berstatus tetap dan pihak manajemen dinilai tak punya landasan hukum untuk mengalihkan para pekerja ke perusahaan outsourcing sekalipun memberikan kompensasi berupa dua kali pesangon.

Fauzi berpendapat,sebelum mengajukan PHK, harus ada kejelasan apa yang menjadi dasar diterbitkannya PHK. Misalnya, mengacu pasal 158 UU Ketenagakerjaan, ada kesalahan berat yang dilakukan pekerja seperti melakukan penipuan dan mengedarkan narkotika. Selain itu, ada mekanisme PHK yang harus dilewati. Sayangnya, pihak manajemen dinilaitak punya berbagai dasar tersebut.

Walau dari 40 pekerja terdapat sebagian yang menerima surat skorsing menuju PHK, menurut Fauzi harus ada alasan yang kuat kenapa skorsing dijatuhkan. Lagi-lagi Fauzi tak melihat pihak manajemen punya alasan yang jelas. Dia melihat pihak manajemen melakukan PHK dengan dalih para pekerja menolak perintah atasan karena tak mau dialihkan ke perusahaan outsourcing. Bagi Fauzi penolakan para pekerja itu belum dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan PHK.

Atas dasar itu Fauzi menegaskan para pekerja menolak untuk dialihkan menjadi pekerja outsourcing walau nantinya tetap bekerja di PT SCTV. Serta menginginkan agar bekerja di posisi semula dengan status pekerja tetap sebagaimana surat pengangkatan yang diterima para pekerja di masa awal bekerja. “Surat pengangkatan (pekerja berstatus tetap,-red) itu ada dan para pekerja mau bekerja kembali seperti semula,” katanya.

Fauzi menjelaskan penolakan para pekerja itu bukan tanpa alasan. Pasalnya dalam praktik, tingkat kesejahteraan pekerja outsourcing jauh lebih rendah ketimbang pekerja berstatus tetap. Menurutnya hal itu dialami sebagian pekerja PT SCTV yang menerima untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing. Misalnya, terjadi penurunan hak normatif seperti upah, fasilitas dan kesehatan. Bahkan secara umum Fauzi melihat pekerja outsourcing tak mendapat pesangon sebagaimana pekerja tetap ketika di-PHK.

Terpisah, menurut dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Trisakti Yogo Pamungkas, penting untuk dilihat bagaimana status pekerja. Jika si pekerja berstatus tetap maka perjanjian kerja yang ada harus diputus terlebih dulu sebelum dialihkan ke perusahaan lain. Namun, Yogo menegaskan dalam melakukan PHK, harus ada dasar yang jelas kenapa PHK itu dijatuhkan. Misalnya, si pekerja melakukan kesalahan berat. Jika alasan yang jelas itu tidak ada, namun pihak manajemen tetap melakukan PHK, Yogo menilai PHK itu tak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. “PHK itu tidak boleh dipaksakan,” kata dia kepada hukumonline lewat telepon, Kamis (11/4).

Ketika si pekerja menolak untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing, Yogo berpendapat, PHK tak boleh dilakukan. Untuk menyelesaikan persoalan itu harus dilakukan dengan perundingan bipartit dan tripartit. Jika masih ada yang tidak puas dengan hasil itu, maka dapat mengajukan perselisihan ke PHI.[HUKUM ONLINE]

Kamis, 11 April 2013

Cerita Miris dari SCTV Tower

“Kami gak nyangka, kok mereka bisa tega sama kami? Padahal kami semua sudah berteman belasan tahun tapi tiba-tiba seakan lupa. Ketika saya belum menandatangani surat pengunduran diri itu, saya menerima telepon sampai sepuluh kali sehari. Isinya cuma teror agar buru-buru tanda tangan, bahkan pas di ruang HRD, mereka membentak-bentak dan menggebrak-gebrak meja. Horor!”

Dari ruangan lain juga terdengar cerita miris, “Saya sedang dirawat di rumah sakit. Masih terbaring dan jarum infus masih nempel di tangan, terus yang namanya atasan, tega-teganya memaksa meminta saya menandatangani surat pengunduran diri. Tega. Padahal, mereka bisa meminta saya ketika sehat atau sepulangnya dari rumah sakit. Ini memang benar-benar gila!”

“Yang sekarang diangkat jadi pekerja tetap ISS juga gak jelas. Mereka dapat gaji di bawah UMP atau turun dibandingkan gaji lama. Malah, seorang teman yang sudah memasuki usia pensiun, tiba-tiba langsung dikabari untuk mengambil surat PHK. Peristiwanya hari Minggu dan benar-benar mendadak. Orang itu cuma pasrah dan mengelus dada. Pindah dan di-outsourcing jadi pekerja PT ISS itu gak menjamin!”

Kekecewaaan, kemarahan, kegundahan, sakit hati, dendam, dan sumpah serapah, masih berhamburan dari banyak mulut para pekerja tetap SCTV yang dipaksa menerima keputusan PHK dan dialihdayakan menjadi pekerja PT ISS. Sejatinya peristiwa pengalihdayaan itu terjadi pertengahan tahun lalu tapi jejak-jejak kebiadabannya masih tersimpan dan akan terus diingat oleh mereka.

Mereka adalah bagian dari 119 pekerja tetap yang mendapatkan perlakukan diskriminitif, intimidatif, hingga di-PHK, lantas dialihdayakan sebagai pekerja PT ISS. Persisnya, sebagai pekerja outsourcing! Adakah yang keliru dengan kebijakan itu?

“Kebijakan itu tidak salah. Tapi cara-cara yang diterapkan HRD SCTV itu yang biadab. Mereka over acting dan sama sekali tidak berperikemanusiaan. Lagaknya bicara baik-baik tapi isinya tak lebih dari intimidasi-intimidasi. Semua teman-teman yang mendapatkan perlakuan ini merasa sakit hati. Sangat sakit hati. Mereka tidak punya Tuhan!”

Sementara 40 pekerja tetap lainnya yang menolak kebijakan outsourcing itu diskorsing secara sepihak dan hingga sekarang terus bergerilya mencari keadilan. Pekan-pekan terakhir, kasus ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial.

Seperti juga ke-119 pekerja tetap SCTV yang telah di-PHK, mereka juga menyaksikan dengan seksama peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di SCTV Tower, kantor megah yang menjadi pusat kegiatan sebuah stasiun televisi swasta nasional. Termasuk peristiwa merger SCTV-Indosiar, pergantian pucuk pimpinan dengan para perancang kebijakan outsourcing di top management, dan peristiwa-peristiwa susulan yang bakal terjadi di bulan-bulan mendatang (baca: PHK massal atas nama efisiensi).[]

Sabtu, 09 Maret 2013

SCTV Bernafsu Tuntaskan Kasus Buruh

Setelah selama delapan bulan menjalin kekisruhan dengan para pekerja tetapnya, kini manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) benar-benar berniat ingin menuntaskan kasus itu selekas-lekasnya. Ini dibuktikan dengan inisiatif kuasa hukum SCTV yang mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terkait kasus penolakan kebijakan outsourcing oleh 40 pekerja tetap SCTV, dan pencatatan perselisihan hubungan industrial ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta terkait kasus yang melibatkan seorang jurnalis Liputan 6.

Demikian dijelaskan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) Agus Suhanda seusai rapat konsolidasi bersama LBH Aspek Indonesia di Kantor DPP Aspek Indonesia di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (9/3). "SCTV sangat bernafsu menuntaskan kasus-kasus perselisihan perburuhannya selekas-lekasnya dan ini sangat menarik," katanya.

Sejak awal, jelas Agus, kami beritikad baik dengan mempertanyakan kebijakan outsourcing yang mesti dilakukan secara diskriminatif dan intimidatif terhadap teman-teman secara baik-baik. "Namun mereka menantang kami untuk menuntaskannya di pengadilan. Dan terbukti, setelah 4o pekerja tetap diskorsing secara sepihak karena menolak kebijakan itu, justru mereka yang mencatatkan perselisihan itu ke Sudin Nakertrans Jakarta Pusat dan mendaftarkan gugatan ke PHI," paparnya.

Pada bagian ini, tegas Agus, kami telah membuktikan bahwa kami tidak pernah beritikad untuk memulai perselisihan atau konflik tapi justru pihak SCTV yang berkeinginan mendapatkan pembenaran atas kebijakan outsourcing itu. "Situasi serupa juga terjadi pada kasus jurnalis Liputan 6 yang di-PHK secara sepihak dan dikirimi uang pisah. Padahal anggota kami itu sudah menolak, dan pihak SCTV bersikeras menghentikan pembayaran upah dan mengirimkan uang pisah. Kini, justru mereka yang mencatatkan kasus itu ke Disnakertrans DKI Jakarta," katanya terheran-heran.

Tentang hasil konsolidasi dengan LBH Aspek Indonesia, Agus menambahkan, SP SCTV bersama DPP Aspek Indonesia bertekad akan terus meladeni penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan pihak SCTV hingga tingkat mana pun. "Kamis (14/3) nanti, kami akan menghadiri sidang pertama di PHI, sekaligus menghadiri perundingan tripatrit. Meski demikian, kami juga akan terus melakukan berbagai aksi, misalnya aksi BOIKOT SCTV (OUTSOURCING BROADCASTER) di Bundaran Hotel Indonesia saat Car Free Day dalam waktu dekat," jelasnya.

Agus mengatakan bahwa aksi itu dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran kepada SCTV agar mempertimbangkan kembali pelaksanaan kebijakan outsourcing di media tersebut dan mengingatkan persoalan kemanusiaan sebagai dampak kebijakan itu. "Biarlah kami disebut duri dalam daging. Yang penting, kami telah mengingatkan kepada pemilik dan pengelola SCTV soal kekisruhan media, serta mengingatkan khalayak agar kritis terhadap media yang menerapkan kebijakan itu," tegasnya.[]

Jumat, 01 Maret 2013

Boikot SCTV

Pengurus Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) akan segera mendeklarasikan Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) sebagai protes atas Kebijakan Outsourcing di stasiun televisi nasional tersebut. "Gerakan ini akan dideklarasikan di Bundaran Hotel Indonesia bersamaan dengan momen Car Free Day pada Ahad pekan depan, yang disertai penghimpunan tanda tangan dari masyarakat di kawasan itu," jelas Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda di Kantor DPP Aspek Indonesia di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3).

Dikatakan Agus, gerakan tersebut bukan merupakan reaksi atas pendaftaran gugatan pihak SCTV terhadap 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak Kebijakan Outsourcing [baca: Pemilik SCTV Bebal]. "Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) telah kami rancang sejak beberapa minggu yang lalu sebagai upaya menghentikan praktik-praktik busuk ala kapitalis itu dan juga mengarah pada literasi media," tambahnya.

Di lingkungan SCTV, papar Agus, Kebijakan Outsourcing bukan hanya diterapkan kepada kalangan pengemudi, petugas keamanan, dan pekerja kalangan bawah, tapi juga petugas master control, kamerawan, dan penerjemah. "Kebjakan Outsourcing diterapkan secara terbuka pada pertengahan tahun lalu dan dampaknya bukan main, 119 pekerja tetap di-PHK dan diberdayakan kembali sebagai pekerja outsourcing. Sebanyak 40 pekerja tetap yang menolak kebijakan itu diskorsing secara sepihak dan justru pihak SCTV yang mencatatkan kasus ini ke Sudin dan mendaftarkan gugatan ke PHI," katanya.

Langkah mencatatkan kasus ke Sudin dan mendaftarkan gugatan ke PHI, tegas Agus, merupakan itikad buruk pihak SCTV yang ingin membenarkan penerapan Kebijakan Outsourcing di SCTV. "Dan bila pengadilan berpihak kepada mereka, maka ini merupakan ancaman terhadap ratusan pekerja tetap SCTV lainnya dan juga akan berdampak terhadap isi media," ujarnya [baca: Musim PHK Segera Tiba di SCTV-Indosiar].

Agus juga memaparkan bahaya konsep komodifikasi media yang diterapkan secara jelas di stasiun SCTV mencakup isi media, khalayak, dan isi media. "Dalam konsep komodifikasi media, isi media tak lebih dari sampah, khalayak sekadar angka-angka rating, dan pekerja tak lebih dari buruh murah. Lantas apa yang diharapkan dari stasiun televisi yang menerapkan Kebijakan Outsourcing?" tanyanya.

Karena itu, kata Agus, kami bertekad akan memvangun membangun kesadaran masyarakat agar tidak memirsa stasiun SCTV yang berpotensi menayangkan sampah-sampah komunikasi di frekuensi milik publik tersebut. "Pada masa mendatang, bukan tidak mungkin, Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) ini juga akan mengarah kepada stasiun televisi lain. Persisnya, gerakan boikot media televisi yang menerapkan kebijakan outsourcing," tegasnya.[]

Sabtu, 23 Februari 2013

Musim PHK Segera Tiba di SCTV-Indosiar

Musim pemutusan hubungan kerja (PHK) segera tiba di lingkungan Senayan City (tempat SCTV dan Indosiar berkantor, red) menyusul penggabungan alias merger antara PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM). Demikian dikatakan Ketua Umum Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) Agus Suhanda di sela Kongres II Federasi Serikat Pekerja Media Independen di Jakarta, Sabtu (23/2).

"Meski dalam berbagai berita disebutkan bahwa manajemen SCMA dan IDKM  berkomitmen tidak melakukan PHK, kenyataannya dalam keterangan tertulis di BEJ disebutkan, perseroan akan memperhatikan ketentuan UU Tenaga Kerja yang berlaku, termasuk apabila terdapat tenaga kerja yang tidak bersedia untuk melanjutkan hubungan ketenagakerjaanya maka sesuai Pasal 163 ayat 1 dari UU Tenaga Kerja, Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja di mana pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan UU Tenaga Kerja," jelas Agus [baca: Dimerger, SCTV-Indosiar Komit Tak PHK Karyawan].

Artinya, tambah Agus, mereka telah menyiapkan formulasi khusus untuk mem-PHK para pekerjanya, bahkan dengan pesangon yang terbilang murah. "Seperti biasa, SCTV dan Indosiar akan menggunakan jurus PHK dengan biaya semurah-murahnya," tegasnya.

Karena itu, kata Agus, kami juga bersiap-siap melakukan pendampingan dan advokasi terhadap anggota SP SCTV yang terancam PHK. "Kami berupaya agar anggota kami mendapatkan hak-haknya, tanpa mendapatkan intimidasi dan perlakukan sewenang-wenang pihak HRD," ujarnya.

Di sisi lain, proses merger itu dan alasan efisiensi tak membuat pemilik SCTV Raden Eddy Kusnadi Sariaatmadja tergeser dari posisi orang kaya di Indonesia versi majalah Forbes. Seperti dikutip dari Forbes, nilai kekayaan Eddy per November 2012 mencapai US$ 730 juta atau sekitar Rp 6,9 triliun. 

Kekayaan Eddy meningkat dua kali lipat setelah sukses mengakuisisi Indosiar dari Grup Salim di 2011 dengan nilai pembelian Indosiar oleh EMTK mencapai Rp 2,03 triliun. Pria berumur 59 tahun itu menggeser Aburizal Bakrie selaku pemilik group media Viva Group dari jajaran 40 orang terkaya di Indonesia versi Forbes [baca: SCTV-Indosiar Merger, Pemilik Elang Mahkota Masuk 40 Orang Terkaya Indonesia].

Selasa, 19 Februari 2013

Pemilik SCTV Bebal

Pemilik PT Surya Citra Televisi (SCTV) bebal dan benar-benar telah kehilangan sisi kemanusiaannya karena bersikeras memberlakukan kebijakan outsourcing dan menerapkan cara-cara intimidatif terhadap pekerja tetap yang menolak kebijakan itu. Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) Agus Suhanda di tengah aksi unjuk rasa menolak RUU Ormas dan RUU Kamnas di di depan Gedung MPR/DPR di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (19/1) [baca: Tolak RUU Ormas dan RUU Kamnas].

"Kami tidak tahu, apa yang terjadi dengan Tuan Eddy Kusnadi Sariaatmadja dan Tuan Fofo Sariaatmadja? Selama ini kami dan hampir seluruh karyawan di lingkungan SCTV dan EMTK (induk perusahaan SCTV, red) mengenal mereka sebagai sosok yang religius dan humanis, tapi kenyataannya, mereka tetap bertahan dengan kebijakan ala perbudakan modern itu," kata Agus.

Agus merinci, pada pertengahan 2012 sebanyak 159 pekerja tetap mendapat perlakukan diskriminatif dan intimidatif agar bersedia di-PHK dan dipekerjakan sebagai pekerja outsourcing di bawah bendera PT ISS. "Sebanyak 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak dan diganjar sanksi skorsing secara sepihak," tambahnya.

Mantan staf Divisi General Services itu juga membuktikan sikap bebal pemilik SCTV yang justru mencatatkan kasus tersebut ke Sudin Nakertrans Jakarta Pusat dan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. "Sekali lagi, ini membuktikan bahwa mereka merasa benar dengan kebijakan outsourcing dan berharap pengadilan pun membenarkannya. Bagi kami, ini merupakan bencana bagi kredibilitas SCTV dan bencana juga bagi sisi kemanusiaaan para pemilik modal SCTV," tegas Agus.

Meski demikian, kata Agus, kami siap menghadapi gugatan pihak SCTV dan bertekad akan terus memperjuangkan keadilan dalam kasus kebijakan outsourcing di SCTV tersebut. "Di belakang kami, di lingkungan SCTV sendiri, masih banyak yang bakal jadi korban. Di luar sana, banyak calon-calon korban yang bermimpi bekerja di menara gading itu. Hanya satu kalimat, lawan kebijakan outsourcing dan kami merindukan sosok Tuan Eddy Kusnadi Sariaatmadja dan Tuan Fofo Sariaatmadja yang religius dan peka terhadap persoalan kemanusiaan," harapnya.[]